Selasa, November 15, 2016

Bike Life. Freedom?


Gue sedang berada di balik layar laptop. Jam menunjukkan pukul 8:55 pagi. Mata sudah menghitam tanda mengantuk dan kurang tidur. Apa yang ada di otak gue cuma “kapan ini semua kelar?” “gue pengen pulang”
Memang, gue tidak terbiasa untuk duduk diam dan bekerja 8 jam di belakang layar komputer. Jangankan bekerja 8 jam, gue main game 30 menit aja ngantuk dan bosen. Ya, gue memang tipikal orang yang bosenan dan moody.

Harus diakui, gue memang lagi pengen banget “motoran”. Tapi bukan “motoran” yang hanya jalan-jalan keliling kota semata, kalo itu gue juga jenuh. Gue pengen explore tempat baru dan view baru, cari tempat yang kira-kira keren buat foto-foto.
Just FYI, gue bukan fotografer profesional. Pengen jadi fotografer profesional, tapi tidak direstui.

Talking about freedom, apakah bermotor ria ini adalah “freedom”? Jawabannya relatif. Tergantung dengan latar belakang masalah (yang ini kayak skripsi ya jatohnya). Mari saya jelaskan.

Freedom atau kebebasan, datangnya dari captivity atau pengurungan (penangkapan, penahanan, whatever it is). Maksudnya, untuk bisa bebas, kita harus menghadapi yang namanya penahanan atau pengurungan. Tanpa ada hal tersebut, tak ada yang namanya kebebasan.
Bersambung ke hal bermotor. Kalau hidup kalian menggunakan motor sebagai alat commuting atau kehidupan sehari-hari, berarti jika kalian bilang bermotor di minggu pagi yang sepi dan segar itu adalah kebebasan, kalian salah. Kalau kasusnya seperti itu, kebebasannya adalah dari kemacetan.

Oke, gue akan kasih contoh. Beberapa hari lalu, gue ikut Sunday Morning Ride bersama temen-temen gue. Kita keliling Jakarta dan berakhir di IMOS 2016. Ketika pulang, gue rasanya begitu malas naik motor dan pengennya motor tuh di-towing aja sampe rumah dan gue ikut pulang di mobilnya sambil tidur. Memang ketika pulang, jam sudah menunjukkan pukul 1 siang which is lagi panas-panasnya dan ngantuk-ngantuknya.
Akan tetapi, towing butuh biaya dan gue sedang tidak siap. Jadi, mau tak mau, gue harus mengendarai motor sepanjang 60 km dari Senayan menuju rumah. Intinya, saat itu gue “terpenjara” oleh motor karena harus panas-panasan dan pegel-pegelan dengan motor menuju rumah.
Ketika sampai rumah, turun dari motor itu berasa lega dan bebas. Nah, dalam kasus ini, meninggalkan motor adalah “kebebasan” gue. Padahal gue adalah anak motor banget. So, bike life doesn’t mean riding is freedom.

So, freedom datangnya setelah captivity. Sebelum kalian berkata riding is freedom, coba lihat lagi, apakah kalian bebas karena naik motor apa hal lain?

Dan sekarang gue sedang berpikir bagaimana caranya gue terbebas dari kehidupan di atas meja dan di belakang layar laptop ini.
 

2 komentar:

  1. bagaimna ya caranya ??
    saya tunggu kisah selanjutnya ... :)




    ---
    Supplier Tas Batam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah observasi, caranya mudah. Jadi pengusaha. Realisasinya? Pasti sesusah melamar Raisa. :D

      Hapus