Jumat, Oktober 08, 2010

A story about one girl


Lampu kuning yang bersinar terang membuka pikiran dan menembus seluruh kenangan – kenangan hidup yang telah dialami. Gua duduk diam bersama seorang perempuan. Seorang perempuan yang penuh dengan prinsip, filosofi, dan teori. Jemari yang lihai menggenggam erat sebuah sendok dan garpu, dan sebuah mata yang tajam dan penuh makna menatap mata gua.
Konsentrasi gua terhadap makanan yang gua makan buyar. Tatapan mata tajam dan penuh makna itu memutushubungkan antara pikiran dan gerakan. Gua diam.

“Gua kemaren baru nemu pendamping hidup dong…”
Kata yang terlontar tersebut membuat gua sedikit terhentak.
“Lu udah punya pacar baru?”
“Ngga, maksud gua, gua udah nemu orang yang bener – bener baek plus respect sama gua. Jarang banget ada orang kayak gitu kan.”

Gua diem sejenak. Sebuah filosofi baru saja keluar secara tak sengaja. Yang dikatakan dia emang bener. Bermilyar – milyar manusia hidup di dunia. Tapi hanya beberapa yang betul – betul respect sama orang lainnya. Perempuan yang sedang duduk terdiam di depan gua itu betul – betul beruntung.

Dina, adalah nama perempuan jelita yang sangat beruntung itu. Seorang mahasiswi di sebuah Universitas di Jogja. Sebelum dia mengangkat kakinya pindah ke Jogja, dia kuliah di Jakarta. Saat kisah ini berlangsung, dia masih menuntut ilmu di Jakarta.

“Beruntung lu Din.”
“Gua juga ga nyangka, bal.”

Kata demi kata yang dia lontarkan membuat pikiran gua semakin buyar. Makanan yang tepat berada di depan gua sepertinya merasa tersia – siakan karena tidak gua makan. Pikiran gua melayang ke orang yang dia maksud.

Dina adalah orang yang beruntung. Begitu juga orang yang respect sama dia. Dina adalah perempuan yang cantik jelita, kulitnya putih merona, rambut lurusnya tergerai indah, hatinya selembut kapas, tatapan mata dan kata – katanya penuh makna, terlebih pikirannya penuh dengan ambisi akan kesuksesan.

4 bulan berlalu, hubungan Dina dengan orang yang menghargainya semakin erat. Mereka telah banyak berbagi isi hati dan pikiran. Dia bahkan sempat memeluk erat lelaki beruntung tersebut.
Sang perempuan jelita itu sempat menawarkan gua untuk nonton film di bioskop bersama. Entah kenapa gua yang dipilihnya, seorang lelaki tak beruntung yang belum bisa mencapai kesuksesan secara pasti.
Setelah sampai di tempat hebat yang telah dijanjikan, gua melihat lelaki beruntung tersebut. Dia tampan, tinggi, besar, dan berkulit putih. Ketika itu, dia membawa seorang gadis jelita yang dia bilang “teman”.
Ketika film dimulai, seisi ruangan gelap. Cahaya hanya datang dari arah proyektor yang sedang menyala dan memutar sebuah film. Gua duduk di samping Dina sementara lelaki beruntung pujaan Dina tersebut duduk di samping Dina.
Pikiran Dina melayang tak terarah tertiup angin yang berhembus kencang. Sang dewi cinta seakan – akan datang dan menembak panahnya.
Malang nasibnya, lelaki tampan itu terbingung karena diapit oleh dua orang gadis yang menyukainya. Dia harus rela melepaskan salah satu dari gadis itu. Lebih malang lagi, gadis yang direlakan adalah Dina.
Selama roll film berputar, Dina merasa ditinggalkan oleh lelaki yang hanya 2 senti jaraknya. Dina merasa dicemoohkan. Raut muka wajahnya yang semula manis berubah kusam karena kecewa.

Setelah film itu usai, kita semua berpulang ke rumah tercinta yang berpijak di bumi kita ini. Dina menanti saat lelaki itu mengantarnya pulang dengan mobil bagus nan mengkilapnya itu.
Sekali lagi sang perempuan cantik jelita yang beruntung itu mengalami sebuah kesialan yang amat dalam. Lelaki itu lebih memilih perempuan yang dia sebut “teman” itu.

Hati yang selembut kapas itu teriris. Raut mukanya benar – benar berubah. Dia tidak bisa memperkirakan hal ini sebelumnya.
Akhirnya, dia berjalan pulang dengan gua. Mata yang sebelumnya selalu menatap tajam ke arah gua, sekarang seperti anak yang mengemis. Dia terlihat sangat sedih. Pertama kali dalam hidupnya disia – siakan oleh orang yang benar – benar respect kepadanya.
Satu hal yang gua kagumi dari Dina, dia ga pernah punya dendam sama orang lain. Dia simpen itu di dalem hatinya sampai membusuk di akhir hayatnya nanti. Sungguh, gadis cantik itu berhati lembut. Lebih lembut dari kapas dan seputih salju.

Berbulan – bulan kehidupan telah terlewati. Hubungan Dina dengan pemuda tampan itu semakin memburuk. Dina cerita semuanya ke gua. Di suatu hari, gua diajak makan dengan perempuan itu. Tempat dimana dia cerita tentang pemuda itu pertama kalinya. Tempat dimana ada cahaya lampu kuning yang menembus ingatan.

“Baru sekali seumur hidup kejadian ini. Gua jadi pengen ngais tanah.”
“Lu ga boleh nangis cuma karena masalah laki – laki. Laki – laki ga Cuma satu toh…”
“Iya bal. By the way, Gua salut sama lu. Lu tuh pinter, gaya oke, bahasa lu keren, lu tuh bisa bikin orang baekan. Tapi lu belum nemuin pendamping hidup lu.”
Itu pertama kalinya gua dipuji sama dia.
Setelah dia berkata begitu, gua sedikit tersentak dan otak gua yang kurang akan ilmu berpikir.
“Kenapa dia berpikiran seperti itu?”
Jawaban dari pertanyaan itu sampai sekarang masih sebuah misteri.

Pada hakikatnya, segala sesuatu mendapat pandangan berbeda dari setiap orang. Mungkin Dina bilang bahwa gua pinter, bergaya oke, berbahasa keren. Tapi mungkin menurut orang lain, gua tidak seperti itu.
Segala sesuatu juga mempunyai kekurangan. Terkecuali Tuhan yang Maha Esa. Gua juga pasti mempunyai kekurangan. Raut muka gua yang biasa dimiripkan dengan simpanse yang bergelantungan di Ragunan membuat sebagian manusia menghindar tiap kali bertemu dengan gua.

“Tampang gua yang ngebuat semua jadi kayak gini. Tampang gua kan tampang orang suram.”
“Harusnya lu ga berpikiran kayak gitu. Tampang itu bisa diubah dalam sekejap. Tapi sifat, kepribadian, dan akal pikiran itu susah.”
Sekali lagi, gua kalah…

Beberapa minggu kemudian, gua diajak pergi oleh sang gadis jelita tersebut. Tanpa gua sadari, dia bakal meninggalkan seluruh kehidupannya di Jakarta. Dia akan angkat kaki ke Jogja karena orang tua.
Dia sempet ngomong beberapa patah kata ke gua.
“Bal, jaga diri baek – baek yak. Lu udah mau SMA.”
“Iya, Dina…”

Kata – kata tersebut adalah kata – kata terakhir gua kepada gadis jelita tersebut. Dan kata – kata dia itu adalah kata – kata terakhirnya kepada gua.

Good Bye, Dina. Live Peacefully.