Kamis, Desember 09, 2010

Things about history


Laptop gua berbunyi “ding” pertanda download sudah selesai.
Lagu yang telah gua download gua putar.

Belajar dari yang kau lewati
Belajar dari yang terlewati
Belajar melihat dengan hati

Lagu yang gua putar adalah lagu dari Deddy Mizwar – Melihat Dengan Hati
Lagu itu gua putar berulang – ulang sampai 10x.
Lagu yang sama yang dapat memotivasi gua.

Lirik yang gua ketik di atas bukanlah hanya sebuah puisi yang hanya patut dilihat dan dibaca. Tetapi jika diresapi, lirik itu akan menjadi sebuah motivator kecil.

Lirik itu mengajak kita untuk berhenti memikirkan kehidupan sekarang dan masa depan lalu kembali melihat ke belakang dan belajar dari apa yang telah kita lakukan dan menerapkannya bahkan memperbaikinya untuk masa yang akan datang.
Kalo kata beberapa fisuf: Experience is the best teacher.

Berhubungan dengan tema ini, gua baru saja melihat ke belakang. Kesalahan yang gua perbuat, gua terlalu lama melihat ke belakang.

Beberapa hari lalu, temen gua dari Prancis baru aja pulang ke Indonesia. Ketika itu, gua diajak dia pergi ke Botani Square. Sebelum pergi, gua janjian di rumah dia. Satu kata yang keluar dari mulut dia yang gua inget: “Seiring waktu, banyak banget yak yang udah berubah.”
Di Botani Square, gua diajak makan di Solaria. Dia mesen satu nasi goreng, sementara gua cuma pesen mie ayam.
Kita berdua ngobrol banyak tentang kehidupan kita masing – masing. Dia bercerita tentang susahnya belajar bahasa Prancis. Dia bilang kalo dia belajar bahasa Inggris butuh 3 tahun lamanya.
Satu hal yang gua bayangkan: “kalo dia di Prancis aja baru bisa 3 taun gimana gua di Indonesia? Bisa 5 tahun.”

Dia sempat bertanya, “Bal, gimana kehidupan lu sekarang? Lebih baek ga?”
Gua menjawab dengan tegas, “Jauh dari apa yang lu perkirakan…”

FYI, nama perempuan yang ngobrol sama gua itu gua samarkan menjadi Ita. Dia asli keturunan Indonesia. Dia lahir di Jakarta, 9 Juni 1995. Sehari setelah gua lahir. Meskipun dia seumuran sama gua, dia adalah kakak kelas gua.

Back to story.
Dia bertanya, kali ini masang tampang kebingungan. “Maksudnya?”
“Maksud gua, kehidupan gua sekarang jauh lebih buruk dari apa yang lu perkirakan.”
“Kok bisa gitu?”
Lalu gua bercerita banyak tentang kehidupan gua.

Gua bercerita tentang kehidupan di sekolah yang kayak Monyet di antara Manusia. Di sekolah gua rata – rata anaknya itu pinter, rajin, dan berbakat. Lah gua? Gua sama sekali engga punya bakat dalam hal akademik maupun luar akademik.
Abis gua cerita itu, dia merespon.
“Iqbal, seharusnya lu ga berpikiran seperti itu. Tuhan itu adil kok. Dia juga pasti ngasih lu bakat yang orang lain ga punya.”
Abis itu, gua menyadari. Satu – satunya bakat yang gua punya yaitu Heavy Sleeper. Mungkin kalo ada lomba Tidur-Paling-Pules-Dan-Nyenyak gua pasti pemenangnya.
“Lu harus sabar, coba deh lu kembangkan kemampuan yang bener – bener lu miliki.” Dia meneruskan.
Gua berpikir sejenak. Sampe sekarang gua ga tau dimana bakat gua sendiri. Jadi, untuk memperdalam bakat, gua menghadapi beberapa masalah.

Ketika kita keluar dari Solaria, dia bertanya.
“Oya bal, gimana perjalanan cinta lu?”

Ngedenger pertanyaan kayak gitu, gua rasanya pengen gigit dia. Tapi niat itu gua urungkan. Soalnya nanti yang nganterin gua balik siapa?

Berbicara soal… Ehem. “Cinta”, gua ngerasa gua bukanlah orang yang beruntung dalam hal itu. Gua merasa gua adalah pecundang yang lebih pantas dilempar dari menara petronas lalu akhirnya gua sampai di tanah dalam keadaan seluruh anggota badan gua berserakan dan berpencar kesana kemari. Gua mati mengenaskan. How unlucky.

“Gua bingung harus gimana. Gua udah nyerah.”
“Lu ga boleh nyerah, Iqbal. Lu harus punya fighting spirit. Kemana Iqbal yang dulu yang giat banget mencari pasangan hidup? Salah satu hal yang gua suka dari lu ketika lu begitu on fire dalam mencari pasangan hidup. Lu dulu tuh kayak Donal Bebek yang mengejar cintanya Desi. Meskipun dia sial, tapi dia ga nyerah. Gua merindukan sifat lu yang seperti itu.”
“Seperti yang gua bilang, Ta… Kehidupan gua berubah total.”

Gua pernah suka sama seorang perempuan jelita (Bukan jelata) ketika gua berada di kelas 7. Bahkan sampai sekarang. Dia itu merupakan anak yang rajin, pinter, berbakat, cantik, baik, alim pula. Terkadang Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan yang begitu banyak sehingga gua merasa terkadang Tuhan memang tidak adil. Sampai sekarang, impian gua tersebut terlihat sia – sia. Sepertinya, gua menggantungkan impian gua terlalu tinggi sehingga memakai tangga pun gua tidak sampai. Akhirnya gua cuma bisa terdiam dan bermimpi.

“Jujur deh, ta. Gua ngerasa sekarang kehidupan gua itu jauh dari baik. Malah bagi gua menurun. Semasa SMP, gua ga perlu khawatir tentang kehidupan gua. Nyokap masih tenang, bokap masih tenang, hidup gua masih bisa dibilang bebas. Dulu nyokap gua ga khawatir gua pulang nyampe jam 8. Justru dulu gua yang khawatir. Sekarang nyokap gua makin parno, bokap gua lebih sering marah. Ya tentu gua juga keganggu dong…”

“Ortu lu mau lu jadi yang terbaik.” Sahut dia.
“Tapi terkadang cara mereka salah.” Bales gua.

Ketika kita sudah selesai, kita berdua pulang. Karena gua masih make seragam sekolah waktu itu, gua ga bisa nyetir karena status gua pasti dipertanyakan ketika melewati gerbang tol. Jadi, kali ini Ita lah yang nyetir. Ketika sudah sampai gerbang tol Citeureup, gua turun. Sebelum gua pamit, dia ngasih pesan ke gua.
“Jangan lupa buat liat terus ke depan ya, Bal. Thanks buat hari ini. Goodbye.”
Gua tersenyum sendiri di antara tukang – tukang ojek yang menunggu penumpang di postnya.

Ketika di perjalanan menuju rumah, gua berpikir kembali.
Gua emang terlalu banyak melihat ke belakang dan melupakan hal – hal di depan. Dan satu hal lagi, gua berpikir tentang kata “Goodbye”

Funny things about “Goodbye”: You will never know when you will get it again.