Minggu, Desember 06, 2015

Untitled


Percaya atau tidak, ketika kita punya masalah, hal yang pertama kali kita harus lakukan adalah bercerita kepada orang lain. Jaman sekarang dikenal dengan nama “curhat”. Tujuannya adalah menenangkan hati dan siapa tahu orang lain itu punya jalan keluar. Kebutuhan akan bercerita inilah kenapa gue kembali ke blog setelah sekian lama tidak berkutat dengannya. Gue butuh bercerita.

Back in 2013 (lupa bulan apa), I met a girl. A girl that can change my whole life. A girl that I’m not expected to be in love with. A girl that have a smile and laugh strong enough to melt my anger and all of my bad things. A girl that currently stuck in my mind.
FYI, date and time ketika gue ngetik tulisan ini adalah Minggu, 06 Desember 2015 pukul 01.45 pagi. Iya, gue gabisa tidur. Iya, gue bego. Bukannya shalat malem malah buka laptop.

Back to story, gue bertemu perempuan ini di acara Welcome and Farewell Party yang diadakan oleh himpunan jurusan gue. At that time, gue emang lagi mencari seseorang yang bisa gue ajak maen, nonton, atau bahkan hanya sekedar bertukar pikiran. Later then, gue bertemu dengan dia.
Apa yang ada di pikiran gue ketika pertama kali gue bertatap muka dengan dia adalah “Dia anak gaul, anak yang suka party, anak ‘nakal’, anak yang banyak ditaksir lelaki”. Hal-hal tersebut yang membuat gue percaya bahwa dia bukanlah orang yang bisa berada di sebelah gue ketika pergi ke mall karena gue bertolak belakang dengan hal-hal tersebut.

And time goes on. In 2014, I met the real her.
Saat itu gue ngajak temen gue buat nonton Captain America: The Winter Soldier. Dan temen gue ini mau gue ajak nonton kalau perempuan itu mau ikut. Berbekal dengan keingintahuan akan film Marvel tersebut, gue mengiyakan.
Mulai dari saat itu, semuanya berubah. Sejak saat itu, gue tahu siapa dia. Sejak saat itu, gue memandang dia berbeda dengan cara gue memandang dia sebelumnya. Sejak saat itu, gue “kenal” dia.

Later on, gue mulai ngobrol banyak dengannya. Sekeping demi sekeping, gue mengenal kepribadiannya. Dan suatu hari, hal yang luar biasa pun terjadi. Gue udah jatuh dengannya. Dan gue mau tetap jatuh. Hal ini terus menjadi-jadi. Suatu saat di hari ulang tahun gue, dia ngajak gue ngobrol panjang. Dia membawa gue kesana kemari tak tentu dan tak berarah. Tujuan aslinya adalah men-distract gue biar dua temen deket gue yang lainnya menyiapkan surprise buat gue. Tapi dibalik itu semua, gue jatuh semakin dalam.

Frekuensi gue bertemu dengannya terus meningkat seiring waktu berjalan. Frekuensi gue ngobrol dengannya semakin sering. Dan gue juga terus jatuh. Gue juga mulai jalan berdua sama dia. Gue mulai tahu bahwa dia memiliki tawa dan senyum yang cukup kuat buat melelehkan salju di pegunungan Himalaya. Gue mulai tahu kalau hatinya sehangat matahari yang mengintip di balik cakrawala di pagi hari. Dan gue mulai tahu bahwa dia tidak tahu kalau gue udah jatuh dengannya. Dan gue mulai tahu bahwa dialah masa depan gue.

Dan semua itu, terancam hilang dari kenyataan.
Beberapa minggu sebelum gue memulai tulisan ini, suddenly gue membuat dia jengkel. Bahkan gue tidak sadar akan apa yang menjadi penyebabnya. Ya, gue idiot. Gue mencoba meminta maaf. Begonya, gue minta maaf seakan-akan tidak menunjukkan bahwa gue minta maaf. Kenapa? Karena gue minta maaf via chat di Line. Kenapa gue minta maaf via chat? Karena gue idiot.
Terus menerus meminta maaf membuat dia semakin annoyed. Dan hal itu membuat gue semakin bego. “Harus apa gue?” Gumam isi otak gue yang tidak berisi.

Beberapa hari sebelum gue membuat dia jengkel, dia sempat bercerita tentang seorang lelaki yang dia baru saja kenal. Seorang lelaki yang mempunyai kemungkinan untuk memilikinya saat ini. Seorang lelaki yang buat gue tetap terjaga saat ini. (Minggu, 6 Desember 2015. Jam 02.30)
Pada saat yang bersamaan, dia juga tahu bahwa gue udah jatuh kepadanya. Apa yang salah dari hal ini? Yang salah adalah gue accidentally memberi tahu via chat dan bukan dari mulut gue, dan saat itu gue lagi berada di belakang setir.

Sejak saat itu, setiap malam hanya ada dua hal yang gue pikirkan (tiga kalau besoknya gue harus kuliah pagi). Perempuan ini, dan tanggal pelaksanaan acara Kunjungan Industri gue yang tak terlihat titik temunya. (Hal ketiga kalau gue harus kuliah pagi adalah “Mobil apa yang bakal gue pake?”. Oke, yang ini terdengar sombong)
Tak jarang gue mempunyai pikiran bahwa suatu hari, lelaki ini akan mengalami kecelakaan ketika bersama perempuan gue ini. Lelaki ini meninggal, sementara perempuan gue ini tetap hidup dan gue menemaninya ketika berbaring di kasur rumah sakit. Terdengar seperti psikopat? Ya, gue memang punya bakat menjadi psikopat.

Inilah mengapa gue terjaga. Gue baru saja membayangkan hal tersebut dan gue tahu ini salah besar. “Gue gabisa kayak gini terus. Gue ga sanggup. Dan gue gabisa cerita ke Sarah karena dia pasti udah tidur.” Gumam isi hati gue saat ini.
Dan sampai sekarang gue tetap terjaga dan tetap terjebak pada pikiran kotor tersebut.

Gue merasa sungguh amat sangat tolol. Gue tahu cara mendapatkan nilai Production and Operation Analysis jauh lebih tinggi daripada rata-rata kelas gue. Gue tahu cara mengerjakan semua soal Mechanics of Material tanpa banyak berpikir. Gue tahu jumlah horsepower pada mobil gue. Tetapi gue ga tahu bagaimana cara menyelesaikan problem gue dengan perempuan ini.
Gue berharap suatu saat, dia mau ngobrol dengan gue dan bisa membahas tentang apa yang menjadi dinding penghalang di antara gue dan dia.

Dan gue berharap dia bisa menjadi masa depan gue lagi sebagaimana gue selalu berpikir bahwa dialah masa depan gue.