Malam itu, aku baru saja pulang dari tempat les. Jam
menunjukkan pukul 7 dan matahari sudah membenamkan dirinya. Sudah sekitar
setengah jam aku duduk di dalam bus ini tapi bus ini tak kunjung berangkat.
Ditemani kursi reyot dan lampu kuning kemerahan di dalam
bus, aku mendengarkan lagu sambil menunggu bus berangkat. Mataku memandang
sekitar dengan jeli. Ada pria dengan kemeja biru, ada dua orang SMA yang sedang
berpacaran, ada pria yang sedang baca koran, ada yang sibuk dengan gadget-nya,
dan lainnya. Suasana malam itu sedikit berbeda, bus tidak terlalu ramai seperti
biasanya dan tidak biasanya bus menunggu penumpang lebih dari setengah jam.
Satu ketika ada seorang nenek berpakaian rapi masuk ke dalam
bus. Nenek ini mungkin tidak kurus dan lemah seperti nenek-nenek pada umumnya,
tapi wajahnya yang penuh dengan keriput itu menunjukkan bahwa dia sudah cukup
lanjut usia. Umurnya mungkin diantara 70 sampai 80 tahun. Ketika itu, seluruh kursi
bus sudah penuh dan nenek itu sibuk melihat sekitar apakah ada sebuah kursi
kosong untuk diduduki. Spontan saya langsung berdiri dan memberi tempat untuk
nenek itu duduk.
Dua hari kemudian pada jam yang sama, saya kembali berada di
dalam sebuah bus. Kali ini bus cepat penuh seperti biasanya dan kebetulan saya
dapat tempat duduk.
Kali ini sang nenek hadir kembali dan seperti dua hari
sebelumnya, nenek itu tidak dapat tempat untuk duduk. Setelah berjalan
menyusuri bus, nenek itu tetap tidak dapat tempat duduk. Karena aku berada di
belakang dan mendapatkan tempat duduk, aku memberikan tempat bagi nenek itu
untuk duduk dan mengistirahatkan kakinya.
“Terimakasih, nak.” Kata nenek tersebut dan aku hanya bisa
membalas dengan senyuman dan anggukan karena aku sedikit terdesak oleh
penumpang yang lain.
Sepanjang perjalanan, rasa haus dan dahaga melanda
tenggorokanku. Aku salah tidak membeli sebotol air putih sebelum bus berangkat.
Untuk mengurangi rasa haus dan dahaga, aku mengambil handphone dan headset-ku
lalu membiarkan mereka menemani perjalananku. Tanpa diduga, nenek yang
kuberikan tempat duduk itu mencolekku.
“Mau minum, nak?” Tanya nenek itu ramah.
“Engga bu. Ga haus kok. Hehehe” Jawabku sambil sedikit
tersenyum dan menyembunyikan rasa haus. Aku memang tidak biasa menerima sesuatu
dari orang yang tidak kukenal.
“Ah, cuma 30 menit doang kok. Tahan aja. Gaenak dapet
minuman dari orang yang gue ga terlalu kenal.” Gumamku dalam hati. Aku
membiarkan rasa haus itu melanda tenggorokanku dan membiarkan lagu yang mengalun
di telingaku menemani perjalanan pulangku.
Beberapa hari kemudian, aku pulang dari tempat les dan
kembali berada dalam sebuah bus reyot yang biasa kunaiki. Kali ini aku berdiri
karena tidak dapat tempat untuk duduk. Beberapa menit kemudian, aku mendapati sang
nenek kembali memasuki bus yang sama denganku. Seperti biasanya, nenek itu
tidak mendapat tempat duduk.
Sebenarnya banyak sekali orang-orang yang masih muda dan
cukup kuat untuk berdiri sepanjang perjalanan yang mendapat tempat duduk.
Mereka seperti sama sekali tidak peduli dengan nenek itu. Bahkan ada orang yang
ketika melihat nenek itu masuk langsung berpura-pura sibuk dengan gadgetnya.
Di sepanjang jalan, aku iba sekali melihat nenek itu. Dia
kali ini terlihat sedikit lemas dengan tangan berpegangan pada besi dan
terpaksa berdiri tegak karena bus sedikit lebih penuh. Aku berada jauh di
belakang, bersender pada pintu bus sementara nenek itu berdiri di tengah dan
dikelilingi oleh para penumpang yang berdesakan.
Semakin lama, nenek itu semakin sempoyongan. Kali ini
matanya terlihat memendam rasa pusing yang melanda kepalanya. Hanya berselang
beberapa menit, tangan nenek itu terlepas dari besi pegangan dan nenek itu
jatuh pingsan. Seisi bus panik dan nenek itu akhirnya diberi tempat duduk.
Seluruh orang di bus itu mengerumuni sang nenek.
Ada satu anak kecil yang saat itu menemani nenek itu. Ia
berkata sambil mengeluarkan sedikit air mata, “Nenek aku punya asma. Sekarang
kambuh... Tolong.. Biasanya nenek dapet tempat duduk. Sekarang engga...”
Apakah aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan asma? Tentu
saja tahu. Hanya saja tempatnya tidak memungkinkan. Suasa sangat sesak
sementara pengidap asma membutuhkan ruang nafas yang cukup lega. Aku hanya bisa
meneruskan menikmati lagu, menyender pada pintu, dan melihat kerumunan itu.
“Apakah masyarakat kita belum sadar bahwa menolong sesama
itu tak perlu sesudah kita mendapat musibah?” Pikirku dalam hati.
Orang – orang yang ada di bus ini lucu. Mereka mencoba
menyadarkan dan menyembuhkan nenek yang terkena serangan asma itu. Tetapi hal
yang mereka lakukan justru membuat nenek itu semakin menderita karena suasanya
justru semakin membuat nenek itu sesak. Anak kecil yang menemaninya itu terus
mengeluarkan air mata sambil membangunkan neneknya. Ia masih sangat muda.
Umurnya mungkin belum menyentuh angka 12 tahun.
Di akhir perjalananku, nenek itu tak kunjung sadar. Lalu aku
turun dan bergumam, “Maaf beribu maaf, nenek. Jika ada lain waktu, aku akan
membantumu.”