Selasa, Agustus 12, 2014

Short Story


Malam itu, aku baru saja pulang dari tempat les. Jam menunjukkan pukul 7 dan matahari sudah membenamkan dirinya. Sudah sekitar setengah jam aku duduk di dalam bus ini tapi bus ini tak kunjung berangkat.
Ditemani kursi reyot dan lampu kuning kemerahan di dalam bus, aku mendengarkan lagu sambil menunggu bus berangkat. Mataku memandang sekitar dengan jeli. Ada pria dengan kemeja biru, ada dua orang SMA yang sedang berpacaran, ada pria yang sedang baca koran, ada yang sibuk dengan gadget-nya, dan lainnya. Suasana malam itu sedikit berbeda, bus tidak terlalu ramai seperti biasanya dan tidak biasanya bus menunggu penumpang lebih dari setengah jam.
Satu ketika ada seorang nenek berpakaian rapi masuk ke dalam bus. Nenek ini mungkin tidak kurus dan lemah seperti nenek-nenek pada umumnya, tapi wajahnya yang penuh dengan keriput itu menunjukkan bahwa dia sudah cukup lanjut usia. Umurnya mungkin diantara 70 sampai 80 tahun. Ketika itu, seluruh kursi bus sudah penuh dan nenek itu sibuk melihat sekitar apakah ada sebuah kursi kosong untuk diduduki. Spontan saya langsung berdiri dan memberi tempat untuk nenek itu duduk.

Dua hari kemudian pada jam yang sama, saya kembali berada di dalam sebuah bus. Kali ini bus cepat penuh seperti biasanya dan kebetulan saya dapat tempat duduk.
Kali ini sang nenek hadir kembali dan seperti dua hari sebelumnya, nenek itu tidak dapat tempat untuk duduk. Setelah berjalan menyusuri bus, nenek itu tetap tidak dapat tempat duduk. Karena aku berada di belakang dan mendapatkan tempat duduk, aku memberikan tempat bagi nenek itu untuk duduk dan mengistirahatkan kakinya.
“Terimakasih, nak.” Kata nenek tersebut dan aku hanya bisa membalas dengan senyuman dan anggukan karena aku sedikit terdesak oleh penumpang yang lain.
Sepanjang perjalanan, rasa haus dan dahaga melanda tenggorokanku. Aku salah tidak membeli sebotol air putih sebelum bus berangkat. Untuk mengurangi rasa haus dan dahaga, aku mengambil handphone dan headset-ku lalu membiarkan mereka menemani perjalananku. Tanpa diduga, nenek yang kuberikan tempat duduk itu mencolekku.
“Mau minum, nak?” Tanya nenek itu ramah.
“Engga bu. Ga haus kok. Hehehe” Jawabku sambil sedikit tersenyum dan menyembunyikan rasa haus. Aku memang tidak biasa menerima sesuatu dari orang yang tidak kukenal.
“Ah, cuma 30 menit doang kok. Tahan aja. Gaenak dapet minuman dari orang yang gue ga terlalu kenal.” Gumamku dalam hati. Aku membiarkan rasa haus itu melanda tenggorokanku dan membiarkan lagu yang mengalun di telingaku menemani perjalanan pulangku.

Beberapa hari kemudian, aku pulang dari tempat les dan kembali berada dalam sebuah bus reyot yang biasa kunaiki. Kali ini aku berdiri karena tidak dapat tempat untuk duduk. Beberapa menit kemudian, aku mendapati sang nenek kembali memasuki bus yang sama denganku. Seperti biasanya, nenek itu tidak mendapat tempat duduk.
Sebenarnya banyak sekali orang-orang yang masih muda dan cukup kuat untuk berdiri sepanjang perjalanan yang mendapat tempat duduk. Mereka seperti sama sekali tidak peduli dengan nenek itu. Bahkan ada orang yang ketika melihat nenek itu masuk langsung berpura-pura sibuk dengan gadgetnya.
Di sepanjang jalan, aku iba sekali melihat nenek itu. Dia kali ini terlihat sedikit lemas dengan tangan berpegangan pada besi dan terpaksa berdiri tegak karena bus sedikit lebih penuh. Aku berada jauh di belakang, bersender pada pintu bus sementara nenek itu berdiri di tengah dan dikelilingi oleh para penumpang yang berdesakan.
Semakin lama, nenek itu semakin sempoyongan. Kali ini matanya terlihat memendam rasa pusing yang melanda kepalanya. Hanya berselang beberapa menit, tangan nenek itu terlepas dari besi pegangan dan nenek itu jatuh pingsan. Seisi bus panik dan nenek itu akhirnya diberi tempat duduk. Seluruh orang di bus itu mengerumuni sang nenek.
Ada satu anak kecil yang saat itu menemani nenek itu. Ia berkata sambil mengeluarkan sedikit air mata, “Nenek aku punya asma. Sekarang kambuh... Tolong.. Biasanya nenek dapet tempat duduk. Sekarang engga...”
Apakah aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan asma? Tentu saja tahu. Hanya saja tempatnya tidak memungkinkan. Suasa sangat sesak sementara pengidap asma membutuhkan ruang nafas yang cukup lega. Aku hanya bisa meneruskan menikmati lagu, menyender pada pintu, dan melihat kerumunan itu.
“Apakah masyarakat kita belum sadar bahwa menolong sesama itu tak perlu sesudah kita mendapat musibah?” Pikirku dalam hati.
Orang – orang yang ada di bus ini lucu. Mereka mencoba menyadarkan dan menyembuhkan nenek yang terkena serangan asma itu. Tetapi hal yang mereka lakukan justru membuat nenek itu semakin menderita karena suasanya justru semakin membuat nenek itu sesak. Anak kecil yang menemaninya itu terus mengeluarkan air mata sambil membangunkan neneknya. Ia masih sangat muda. Umurnya mungkin belum menyentuh angka 12 tahun.
Di akhir perjalananku, nenek itu tak kunjung sadar. Lalu aku turun dan bergumam, “Maaf beribu maaf, nenek. Jika ada lain waktu, aku akan membantumu.”
 

Sabtu, Agustus 02, 2014

Lebaran Trip


Pertama-tama gue mau mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri mohon maaf lahir batin. Meskipun gue nyebelin dan punya banyak salah, gue juga berhak meminta maaf walaupun ga diterima. Dan juga buat yang gapunya salah sama gue, bikin salah dulu aja ntar baru minta maaf.

Seperti libur lebaran pada umumnya, mudik (pulang ke kampung halaman) sudah menjadi tradisi.
Sebagai orang yang tidak terbelakang, gue juga punya kampung halaman. Gue punya 3 kampung halaman, yakni Klaten (kampung bokap), Citeureup (kampung nyokap dan kakek), dan Leuwidamar (di Banten, kampung nenek). Dan berhubung gue adalah anak yang baik, gue juga mudik. Seringkali gue mudik ke Citeurueup. Kenapa? Karena gue tinggal di Citeureup dan kamar almarhum kakek nenek gue berjarak 3 meter dari kamar gue.
Kemacetan pada mudik lebaran juga sudah menjadi sebuah tradisi, apalagi buat kendaraan beroda dan menapak di jalan (becak dan gerobak tukang baso juga termasuk. Percaya deh, ada yang mudik pake gerobak baso, sekalian jualan). Kemacetan ga cuma buat kendaraan, buat manusia juga ada. Contohnya adalah macet di antrian tiket kereta api maupun waiting list hotel dan restoran. Bahkan di rumah gue dulu ketika nenek gue masih hidup, antrian THR bisa mencapai 10 meter. Dari kamar nenek gue sampe dapur belakang. Hebat kan?

Tahun ini, gue males banget buat mudik sebenernya. Jalanan makin macet, angkutan umum makin penuh sesak sampai tak ada ruang untuk menarik dan menghembuskan nafas, toleransi antar pengendara makin hilang, dan jalanan makin rusak. Biasanya gue mudik ke Klaten, kali ini tidak.
Kali ini gue berhadapan dengan dua perjalanan. Yang pertama hanya short trip ke Rawamangun, tempat om tertua gue tinggal. Second, having a short trip ke Leuwidamar, Banten. Yang ketiga adalah liburan ke Pangandaran. Semua itu dilakukan dalam waktu 5 hari. Cape? Tentu saja. Seberapa cape? Bayangkan berada di belakang stir mobil dan mengemudi selama 18 jam ketika pergi dan 18 jam ketika pulang. Ketika pulang aja gue berasa pantat gue sixpack, betis sekeras batok kelapa, dan tangan sekekar Ade Rai.

Tahun ini gue sedikit menikmati setiap perjalanannya. Yang gue sesalkan hanyalah macet dan over-populated. Ketika gue sampe pantai Pangandaran Kamis lalu, suasananya bener-bener pecah. Pecah disini beneran pecah dalam arti sebenarnya. Pecah belah berantakan dan menjadi “lautan” manusia. Udah pantainya penuh banget, susah parkir, hotel penuh, dan sampah berserakan dimana mana. Amat sangat tidak kondusif untuk pantai sebagus Pangandaran.
Hal yang sampe sekarang nempel di benak gue adalah kerennya pemandangan di dataran tinggi Tasikmalaya. Sawah terasering, sungai bersih, kebun stroberi, dan rumah-rumah panggung tradisional. Bagi beberapa orang mungkin bilangnya biasa karena di daerah Puncak, Bogor juga ada. Tapi buat gue yang biasa melihat hitam putih kelabunya kehidupan kota Jakarta, hal ini amazing berat. Daerah Puncak, Bogor juga sebenernya luar biasa, hanya saja beberapa sudah terkontaminasi oleh hitam putih kelabunya kehidupan Jakarta.

Kehidupan di Banten juga sama. Gue pergi ke Leuwidamar which is merupakan daerah pelosok di Banten. Kehidupannya masih sederhana, sungai sebagai tempat mandi, kegiatan bersawah, dan mengurus kebun. Di sana, gue menyempatkan pergi ke aliran sungai Cidurian di deket rumah sodara gue. Gue membenamkan kaki gue ke sungai itu dan membiarkan aliran air sungai menyapu kaki gue dari telapak kaki sampai betis. Gue sangat menikmati hal ini meskipun gue ga menikmati pandangan di depan gue yakni penduduk sekitar yang sedang mandi karena jarang banget gue menemukan aliran sungai yang airnya masih terbilang bersih. Sebenernya ada sungai di deket rumah gue di Citeureup. Hanya saja, kalo lu membenamkan kaki ke sungai itu, lo bakal hanyut terbawa arus dan mengalami sensasi arung jeram tanpa perahu dan meminum air yang bercampur kotoran berupa sampah dan limbah.

Selain mengatasi kemacetan dan memperbaiki fasilitas, ada satu lagi PR buat pemerintah. Yaitu, perbagus sinyal. Di daerah Leuwidamar, Banten, cari sinyal sama susahnya kayak mencoba PDKT sama Gita Gutawa. Dapet sinyal bagus merupakan kekayaan daerah pelosok yang jarang sekali ditemui.

PS: Next time gue mau mencoba bikin cerpen. Ciao.

See you on the next post.
 

Jumat, Juli 25, 2014

Dreams


Akhir – akhir ini entah kenapa gue sering banget mimpi pas tidur. Dan yang lebih takjub, mimpi gue absurd semua.

Satu malam pernah gue mimpi kalo gue merasakan yang namanya akhir dunia. Di mimpi itu, terdapat bayangan kalo dunia yang penuh dengan chip (chip elektronik, bukan chip keripik kentang meskipun gue lebih seneng kalo dunia penuh keripik), dan segala sesuatu dapat dikendalikan oleh chip tersebut. Iya, emang antara ngeri sama absurd.
Ga berenti disitu. Mimpi itu kebawa sampe bangun dan terasa amat sangat nyata. Jadi ketika gue bangun, gue menemukan Binusian flazz card gue tergantung di depan kaca dan gue kaget setengah mampus. Sinetron abis.

Makin kesini, mimpi yang gue alami makin absurd. Pernah suatu saat gue mimpi pacaran dengan temen SD gue yang udah lama banget ga kontak sama gue. Udah gitu, di mimpi itu gue gatau gimana rupa pacar gue. Ngeri banget, sinetron banget, dan gajelas abis.
Seperti biasa, mimpi itu kebawa sampe bangun. Ketika bangun, gue langsung search temen gue itu di Facebook dan Twitter karena penasaran setengah mampus.

Makin kesini, frekuensi mimpi ini makin sering, apalagi di bulan puasa ini yang frekuensi tidurnya makin sering. Tidur bentar antara sahur dan subuh aja gue mimpi dan kerasa lama banget. Tidur lima menit abis subuh aja gue mimpi dan beneran kerasa lama banget.

Klimaksnya adalah ketika suatu pagi abis subuh gue tidur sampe jam 8.
Pagi itu, gue tidur karena ngantuk (menurut lo?). Ketika tidur itu, gue mimpi dan mimpi itu absurd setengah mampus.
Cerita di mimpi gue ini adalah gue pindah ke rumah baru dengan ade gue. Then, gue bertemu dengan temen gue yang bernama Disa (Nama lengkap disamarkan. Pokoke nama depannya Dilik dan nama belakangnya Aisa, terdiri dari dua kata). Lalu, gue menyuruh ade gue buat nutup mata Disa memberi kejutan (alay banget emang). Setelah ketauan itu adalah ade gue, gue langsung ngajak jalan Disa (bareng ade gue tentu).
Ternyata, di mimpi itu Disa pengen banget nasi goreng. Kebetulan gue gapunya duit karena gue beli bensin, parkir, dll. Dan yang lebih kebetulan lagi, ade gue punya duit. Then, gue sibuk mencari duit (di mimpi gue ini, gue balapan. Kenapa balapan? Gatau gue juga. Namanya juga mimpi) sementara ade gue langsung ngajak Disa beli nasi goreng.
Setelah selesai cari nafkah, gue balik ke rumah dan ade gue dateng sama Disa naek motor. Ternyata oh ternyata, ade gue jadian sama Disa. Kenapa bisa jadian gue tetep gangerti.
Abis itu, gue dibangunin sama ade gue karena disuruh mundurin mobil. Gatau kenapa, gue langsung nanya ade gue secara spontan, “De, gimana sama Disa?” Ade gue tentu bingung. Dan ga cuma itu, gue langsung buka HP dan nyari kontak Disa. 5 menit kemudian gue sadar itu cuma mimpi.

Setelah kejadian itu, gue selalu cuci muka setelah bangun tidur mencegah otak gue bereaksi lebih dari sekedar nanya – nanya gajelas.

Sampe sekarang, setiap gue tidur masih mengalami yang namanya mimpi. Dan gue sampe sekarang berharap gue bermimpi Gita Gutawa dateng ke rumah gue dan gue berharap mimpi yang ini come true. Yaaaah… Namanya juga ngarep.

See you on the next post.