Pertama-tama gue mau mengucapkan selamat hari raya Idul
Fitri mohon maaf lahir batin. Meskipun gue nyebelin dan punya banyak salah, gue
juga berhak meminta maaf walaupun ga diterima. Dan juga buat yang gapunya salah
sama gue, bikin salah dulu aja ntar baru minta maaf.
Seperti libur lebaran pada umumnya, mudik (pulang ke
kampung halaman) sudah menjadi tradisi.
Sebagai orang yang tidak terbelakang, gue juga punya kampung
halaman. Gue punya 3 kampung halaman, yakni Klaten (kampung bokap), Citeureup
(kampung nyokap dan kakek), dan Leuwidamar (di Banten, kampung nenek). Dan
berhubung gue adalah anak yang baik, gue juga mudik. Seringkali gue mudik ke
Citeurueup. Kenapa? Karena gue tinggal di Citeureup dan kamar almarhum kakek
nenek gue berjarak 3 meter dari kamar gue.
Kemacetan pada mudik lebaran juga sudah menjadi sebuah
tradisi, apalagi buat kendaraan beroda dan menapak di jalan (becak dan gerobak
tukang baso juga termasuk. Percaya deh, ada yang mudik pake gerobak baso,
sekalian jualan). Kemacetan ga cuma buat kendaraan, buat manusia juga ada.
Contohnya adalah macet di antrian tiket kereta api maupun waiting list hotel
dan restoran. Bahkan di rumah gue dulu ketika nenek gue masih hidup, antrian
THR bisa mencapai 10 meter. Dari kamar nenek gue sampe dapur belakang. Hebat
kan?
Tahun ini, gue males banget buat mudik sebenernya. Jalanan
makin macet, angkutan umum makin penuh sesak sampai tak ada ruang untuk menarik
dan menghembuskan nafas, toleransi antar pengendara makin hilang, dan jalanan
makin rusak. Biasanya gue mudik ke Klaten, kali ini tidak.
Kali ini gue berhadapan dengan dua perjalanan. Yang pertama
hanya short trip ke Rawamangun, tempat om tertua gue tinggal. Second, having a
short trip ke Leuwidamar, Banten. Yang ketiga adalah liburan ke Pangandaran.
Semua itu dilakukan dalam waktu 5 hari. Cape? Tentu saja. Seberapa cape?
Bayangkan berada di belakang stir mobil dan mengemudi selama 18 jam ketika
pergi dan 18 jam ketika pulang. Ketika pulang aja gue berasa pantat gue sixpack,
betis sekeras batok kelapa, dan tangan sekekar Ade Rai.
Tahun ini gue sedikit menikmati setiap perjalanannya. Yang
gue sesalkan hanyalah macet dan over-populated. Ketika gue sampe pantai
Pangandaran Kamis lalu, suasananya bener-bener pecah. Pecah disini beneran
pecah dalam arti sebenarnya. Pecah belah berantakan dan menjadi “lautan”
manusia. Udah pantainya penuh banget, susah parkir, hotel penuh, dan sampah
berserakan dimana mana. Amat sangat tidak kondusif untuk pantai sebagus
Pangandaran.
Hal yang sampe sekarang nempel di benak gue adalah kerennya
pemandangan di dataran tinggi Tasikmalaya. Sawah terasering, sungai bersih,
kebun stroberi, dan rumah-rumah panggung tradisional. Bagi beberapa orang
mungkin bilangnya biasa karena di daerah Puncak, Bogor juga ada. Tapi buat gue
yang biasa melihat hitam putih kelabunya kehidupan kota Jakarta, hal ini
amazing berat. Daerah Puncak, Bogor juga sebenernya luar biasa, hanya saja
beberapa sudah terkontaminasi oleh hitam putih kelabunya kehidupan Jakarta.
Kehidupan di Banten juga sama. Gue pergi ke Leuwidamar which
is merupakan daerah pelosok di Banten. Kehidupannya masih sederhana, sungai
sebagai tempat mandi, kegiatan bersawah, dan mengurus kebun. Di sana, gue
menyempatkan pergi ke aliran sungai Cidurian di deket rumah sodara gue. Gue
membenamkan kaki gue ke sungai itu dan membiarkan aliran air sungai menyapu
kaki gue dari telapak kaki sampai betis. Gue sangat menikmati hal ini meskipun
gue ga menikmati pandangan di depan gue yakni penduduk sekitar yang sedang
mandi karena jarang banget gue menemukan aliran sungai yang airnya masih
terbilang bersih. Sebenernya ada sungai di deket rumah gue di Citeureup. Hanya
saja, kalo lu membenamkan kaki ke sungai itu, lo bakal hanyut terbawa arus dan
mengalami sensasi arung jeram tanpa perahu dan meminum air yang bercampur kotoran
berupa sampah dan limbah.
Selain mengatasi kemacetan dan memperbaiki fasilitas, ada
satu lagi PR buat pemerintah. Yaitu, perbagus sinyal. Di daerah Leuwidamar,
Banten, cari sinyal sama susahnya kayak mencoba PDKT sama Gita Gutawa. Dapet
sinyal bagus merupakan kekayaan daerah pelosok yang jarang sekali ditemui.
PS: Next time gue mau mencoba bikin cerpen. Ciao.
See you on the next post.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar