Sabtu, Agustus 02, 2014

Lebaran Trip


Pertama-tama gue mau mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri mohon maaf lahir batin. Meskipun gue nyebelin dan punya banyak salah, gue juga berhak meminta maaf walaupun ga diterima. Dan juga buat yang gapunya salah sama gue, bikin salah dulu aja ntar baru minta maaf.

Seperti libur lebaran pada umumnya, mudik (pulang ke kampung halaman) sudah menjadi tradisi.
Sebagai orang yang tidak terbelakang, gue juga punya kampung halaman. Gue punya 3 kampung halaman, yakni Klaten (kampung bokap), Citeureup (kampung nyokap dan kakek), dan Leuwidamar (di Banten, kampung nenek). Dan berhubung gue adalah anak yang baik, gue juga mudik. Seringkali gue mudik ke Citeurueup. Kenapa? Karena gue tinggal di Citeureup dan kamar almarhum kakek nenek gue berjarak 3 meter dari kamar gue.
Kemacetan pada mudik lebaran juga sudah menjadi sebuah tradisi, apalagi buat kendaraan beroda dan menapak di jalan (becak dan gerobak tukang baso juga termasuk. Percaya deh, ada yang mudik pake gerobak baso, sekalian jualan). Kemacetan ga cuma buat kendaraan, buat manusia juga ada. Contohnya adalah macet di antrian tiket kereta api maupun waiting list hotel dan restoran. Bahkan di rumah gue dulu ketika nenek gue masih hidup, antrian THR bisa mencapai 10 meter. Dari kamar nenek gue sampe dapur belakang. Hebat kan?

Tahun ini, gue males banget buat mudik sebenernya. Jalanan makin macet, angkutan umum makin penuh sesak sampai tak ada ruang untuk menarik dan menghembuskan nafas, toleransi antar pengendara makin hilang, dan jalanan makin rusak. Biasanya gue mudik ke Klaten, kali ini tidak.
Kali ini gue berhadapan dengan dua perjalanan. Yang pertama hanya short trip ke Rawamangun, tempat om tertua gue tinggal. Second, having a short trip ke Leuwidamar, Banten. Yang ketiga adalah liburan ke Pangandaran. Semua itu dilakukan dalam waktu 5 hari. Cape? Tentu saja. Seberapa cape? Bayangkan berada di belakang stir mobil dan mengemudi selama 18 jam ketika pergi dan 18 jam ketika pulang. Ketika pulang aja gue berasa pantat gue sixpack, betis sekeras batok kelapa, dan tangan sekekar Ade Rai.

Tahun ini gue sedikit menikmati setiap perjalanannya. Yang gue sesalkan hanyalah macet dan over-populated. Ketika gue sampe pantai Pangandaran Kamis lalu, suasananya bener-bener pecah. Pecah disini beneran pecah dalam arti sebenarnya. Pecah belah berantakan dan menjadi “lautan” manusia. Udah pantainya penuh banget, susah parkir, hotel penuh, dan sampah berserakan dimana mana. Amat sangat tidak kondusif untuk pantai sebagus Pangandaran.
Hal yang sampe sekarang nempel di benak gue adalah kerennya pemandangan di dataran tinggi Tasikmalaya. Sawah terasering, sungai bersih, kebun stroberi, dan rumah-rumah panggung tradisional. Bagi beberapa orang mungkin bilangnya biasa karena di daerah Puncak, Bogor juga ada. Tapi buat gue yang biasa melihat hitam putih kelabunya kehidupan kota Jakarta, hal ini amazing berat. Daerah Puncak, Bogor juga sebenernya luar biasa, hanya saja beberapa sudah terkontaminasi oleh hitam putih kelabunya kehidupan Jakarta.

Kehidupan di Banten juga sama. Gue pergi ke Leuwidamar which is merupakan daerah pelosok di Banten. Kehidupannya masih sederhana, sungai sebagai tempat mandi, kegiatan bersawah, dan mengurus kebun. Di sana, gue menyempatkan pergi ke aliran sungai Cidurian di deket rumah sodara gue. Gue membenamkan kaki gue ke sungai itu dan membiarkan aliran air sungai menyapu kaki gue dari telapak kaki sampai betis. Gue sangat menikmati hal ini meskipun gue ga menikmati pandangan di depan gue yakni penduduk sekitar yang sedang mandi karena jarang banget gue menemukan aliran sungai yang airnya masih terbilang bersih. Sebenernya ada sungai di deket rumah gue di Citeureup. Hanya saja, kalo lu membenamkan kaki ke sungai itu, lo bakal hanyut terbawa arus dan mengalami sensasi arung jeram tanpa perahu dan meminum air yang bercampur kotoran berupa sampah dan limbah.

Selain mengatasi kemacetan dan memperbaiki fasilitas, ada satu lagi PR buat pemerintah. Yaitu, perbagus sinyal. Di daerah Leuwidamar, Banten, cari sinyal sama susahnya kayak mencoba PDKT sama Gita Gutawa. Dapet sinyal bagus merupakan kekayaan daerah pelosok yang jarang sekali ditemui.

PS: Next time gue mau mencoba bikin cerpen. Ciao.

See you on the next post.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar